Kebijakan
desa (termasuk peraturan desa) yang berbasis pada masyarakat. Sebuah kebijakan
(peraturan desa) yang demokratis apabila berbasis masyarakat: berasal dari partisipasi
masyarakat, dikelola secara bertanggungjawab dan transparan oleh masyarakat
dan digunakan untuk memberikan
manfaat kepada masyarakat. Dari sisi konteks, peraturan desa berbasis
masyarakat (demokratis) berarti setiap perdes harus relevan dengan
konteks
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dengan kalimat lain, perdes yang dibuat
memang dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan masyarakat, bukan sekadar
merumuskan keinginan elite desa atau hanya untuk menjalankan instruksi dari
pemerintah supradesa. Dari sisi kontens (substansi), prinsip dasarnya bahwa
peraturan desa lebih bersifat membatasi yang berkuasa dan sekaligus melindungi
rakyat yang lemah. Paling tidak, perdes harus memberikan ketegasan tentang
akuntabilitas pemerintah desa dan BPD dalam mengelola pemerintahan desa.
Dipandang dari “manfaat untuk rakyat”, perdes dimaksudkan untuk mendorong
pemberdayaan masyarakat: memberi ruang bagi pengembangan kreasi, potensi dan
inovasi masyarakat; memberikan kepastian masyarakat untuk mengakses terhadap
barang-barang publik; memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam proses
pemerintahan dan pembangunan desa. Sedangkan untuk menciptakan ketertiban dan
keseimbangan, perdes harus bersifat membatasi: mencegah eksploitasi terhadap
sumberdaya alam dan warga masyarakat; melarang perusakaan terhadap lingkungan,
mencegah perbuatan kriminal; mencegah dominasi suatu kelompok kepada kelompok
lain, dan seterusnya.
Sesuai dengan logika demokrasi, perdes berbasis masyarakat (demokratis) disusun melalui proses siklus kebijakan publik yang demokratis: artikulasi, agregasi, formulasi, konsultasi publik, revisi atas formulasi, legislasi, sosialisasi, implementasi, kontrol dan evaluasi. Dalam setiap sequen ini, masyarakat mempunyai ruang (akses) untuk terlibat aktif menyampaikan suaranya. Artikulasi adalah proses penyerapan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh BPD maupun pamong desa. Agregasi adalah proses mengumpulkan, mengkaji dan membuat prioritas aspirasi yang akan dirumuskan menjadi perdes. Formulasi adalah proses perumusan rancangan perdes yang bisa dilakukan oleh BPD dan/atau oleh pemerintah desa. Konsultasi adalah proses dialog bersama antara pemerintah desa dan BPD dengan masyarakat. Masyarakat mempunyai ruang untuk mencermati, mengkritisi, memberi masukan dan merevisi terhadap naskah raperdes. Pemerintah desa dan BPD wajib melakukan revisi terhadap raperdes berdasarkan umpan balik dari masyarakat dalam proses konsultasi sebelumnya. Naskah raperdes yang sudah direvisi kemudian disahkan (legislasi) menjadi perdes oleh pemerintah desa dan BPD. Sebelum perdes diimplementasikan, maka pemerintah desa dan BPD wajib melakukan sosialisasi publik, untuk memberikan informasi tentang perdes agar masyarakat tahu dan siap ikut melaksanakan perdes itu. Jika sosialisasi sudah mantap, maka perdes bisa dijalankan (implementasi). Berbarengan dengan proses implementasi, ada proses kontrol dan evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah desa, BPD dan juga masyarakat. Penilaian berbagai pihak ini menjadi umpan balik untuk bahan inovasi terhadap implementasi, dan jika masalah terlalu berat maka umpan balik bisa digunakan sebagai pijakan untuk merevisi perdes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar